Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inilah Cara Mengatasi Patah Hati Karena Diputusin Pasangan – Menurut Sains

Baru patah hati? Kayaknya kamu butuh cara terbaik mengatasi putus cinta berikut ini. Bukan sembarangan loh…, karena cara-cara yang diungkap ini ada dasar keilmuannya. Jadi bukan sekadar saran cara mengatasi patah hati seperti yang mungkin sudah biasa kamu tahu.

Putus hubungan dengan orang yang disayangi itu memang menyakitkan. Dan bukan cuman itu, patah hati bisa membuat kamu susah tidur, berpikiran buruk, dan ternyata juga bisa membuat kekebalan tubuhmu menurun.

Dalam proses memulihkan diri dari putus hubungan ini, bahkan orang-orang yang ‘biasanya’ punya motivasi tinggi, bisa saja juga mengalami kesulitan untuk menentukan musti bagaimana mengatasinya.

Pernah tahu kan, sahabat, teman, orang dewasa, yang biasanya bisa memberi semangat dan pencerahan ketika kamu jatuh, eh, ternyata juga bisa galau dan tidak karuan ketika mengalami sendiri yang namanya patah hati.

Lalu bagaimana cara terbaik mengatasi putus cinta ini?

Segera move on cari pengganti, kog ya seperti tidak etis. Berlama-lama mengenang yang sudah dilalui bersama, hlah…, bakal tambah sedih. Atau menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan? Atau mengubah penampilan – emm… minimalnya potong rambut begitu? Ada efeknya tidak ya?

Ok…, daripada menebak-nebak, kita lihat dulu apa hasil penelitian terbaru tentang cara terbaik mengatasi putus cinta ini.

Memang ada? Ada-lah….

Cara mengatasi patah hati

Jadi, ada sebuah penelitian yang hasilnya diterbitkan dalam Journal if Experimental Psychologi: General, mengenai hal ini. Ini beneran. Bukan sekadar asumsi yang banyaknya cuman kira-kira ndak valid itu.

Dalam penelitian ini, para peneliti menggunakan beberapa strategi atau cara kognitif untuk kemudian dicari cara mana yang paling ampuh bin efektif untuk mengatasi putus cinta.

Peserta dari penelitian tersebut ada 24 orang – yang semuanya sedang patah hati, berusia 20 sampai 37 tahun, dan semuanya telah berada dalam hubungan serius dalam waktu lama, setidaknya 2,5 tahun.

Beberapa menjadi pihak yang diputuskan, dan beberapa lagi menjadi pihak yang memutuskan hubungan, tetapi merasa tidak nyaman dengan keputusan itu – dan, hampir semuanya, masih menyayangi mantan. Ruwet ya?

Dalam beberapa kali pertemuan, para peneliti tadi memberikan cara atau strategi kognitif yang berbeda-beda untuk membantu mereka move on atau pulih dari keadaan buruk ini.

Cara pertama: mengingat dan memperkuat kesan negatif dari mantan

Peserta diminta untuk mengingat dan mengingat benar-benar semua hal-hal buruk dari mantan mereka. Mulai dari kebiasaan buruk yang tidak bisa ditolelir, sampai peristiwa buruk yang disebabkan oleh pasangan.

Setelah beberapa waktu mengingat dan memikirkan buruk dari mantan, peserta cenderung menjadi lebih lunak.

Cara kedua: menerima keadaan dengan kesadaran penuh

Pada kelompok yang kedua ini, peserta diminta untuk membaca dan mempercayai sebuah pernyataan penerimaan – semacam ide pasrah yang bebas dalam pemahaman orang timur.

Pernyataannya adalah “Adalah hal yang lumrah untuk mencintai seseorang meski tidak lagi bersama.”

Daripada melawan perasaan sakit hati dan sedih karena putus hubungan, mereka diminta untuk menerima perasaan cinta mereka itu sebagai sesuatu yang normal dan mengesampingkan penilaian (tentang benar-salah, baik-buruk, untung rugi).

Diajari untuk jadi altruis pakai banget pokoknya.

Cara ketiga: memikirkan – dan – melakukan hal-hal positif yang tidak berkaitan dengan mantan

Jadi setiap kali perasaan sedih dan galau karena putus hubungan ini datang, peserta diminta untuk memikirkan hal lain yang menyenangkan, seperti makan makanan kesukaan, melakukan hobi, atau berkegiatan yang lain.

Pengalihan perhatian ini bisa membantu peserta untuk mengurangi perasaan sedih, galau, dan terteka karena patah hati ini.

Dan sebagai kontrol, ada satu lagi kelompok peserta yang dibiarkan saja, tidak diminta untuk memikirkan atau melakukan sesuatu untuk mengatasi rasa sedih karena putus hubungan ini.

***

Pada tahap berikutnya, para peneliti menunjukkan pada semua peserta, foto dari mantan mereka satu per satu. Sebuah peristiwa yang sangat mungkin terjadi pada keadaan sesungguhnya, dimana kita melihat foto mantan di sosial sosial secara tidak sengaja.

Supaya lebih valid dan mengurangi bias peredaman emosi, respon emosional para peserta ini direkam dengan menggunakan EEG yang elektroda-nya ditempelkan di kulit kepala mereka.

Hasil pembacaan respon peserta melalui EEG ini mengukur emosi dan atensi termotivasi, atau seberapa kuat peserta tersebut terpengaruh dengan foto mantan.

Kemudian, para peserta juga diminta untuk mengisi sebuah questionnaire untuk mengukur besar dari perasaan cinta mereka pada mantan.

Bagaimana hasilnya?

Berdasarkan hasil pembacaan respon dari EEG, didapati bahwa jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, ketiga kelompok yang diberi perlakukan menjalankan cara-cara tadi secara signifikan memiliki respon emosi yang lebih rendah ketika melihat foto mantan.

Hanya peserta kelompok pertama – yang menguatkan hal-hal negatif dari mantan tadi – yang mengalami penurunan rasa cinta terhadap mantan. Jadi bisa dibilang ini yang paling berhasil.

Tetapi, mereka ini juga yang dilaporkan memiliki mood yang bahkan lebih buruk daripada awalnya.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa meskipun memikirkan hal-hal buruk dari mantan itu bisa membuat move on lebih cepat, tetapi juga bisa meningkatkan tingkat stres untuk sementara waktu.

Cara pengalihan, seperti pada kelompok ketiga, secara menyeluruh bisa membuat seseorang merasa lebih baik dengan cepat, tetapi tidak memberi pengaruh terhadap bagaimana mereka masih mencintai mantan.

Sehingga, cara ini, meski kurang efektif untuk cepat move on, tetap bisa digunakan untuk memperbaiki mood dengan cepat.

Sementara cara kedua, menerima keadaan dengan kesadaran penuh, ternyata tidak mempengaruhi perasaan cinta atau mood seseorang, tetapi tetap mampu menumpulkan respon emosional ketika peserta melihat foto mantan.

Para peneliti tersebut mengklasifikasikan cinta pada orang lain sebagai motivasi yang dipelajari, mirip dengan haus atau lapar, sehingga – dalam pandangan mereka – cinta mendorong seseorang melakukan sesuatu di dalam pikiran dan tindakan mereka.

Dan ini bisa memicu emosi yang berbeda tergantung dari situasinya.

Ketika cinta dibalas, seseorang bisa merasa bahagia, atau, dalam hal ini – patah hati, perasaan cinta dihubungkan dengan kesedihan dan kesulitan memulihkan kesadaran sebagai sebuah pribadi yang utuh.

Mengklasifikasikan cinta sebagai motivasi ini kontroversial dan banyak yang menentang; banyak ahli lain lebih percaya pada teori bahwa cinta adalah emosi, seperti kemarahan.

Meskipun keberlangsungan perasaan cinta ini lebih lama dibandingkan dengan rasa marah atau senang. Kompleksitas perasaan ini, dan juga intensitas dari ketertarikan pada lawan jenis, semua adalah sinyal dari sebuah motivasi, begitu tulis mereka.

Jadi bagaimana?

Yang mana cara terbaik mengatasi putus cinta?

Untuk mengatasi putus cinta, seseorang perlu mengubah cara mereka berfikir, dan ini butuh waktu.

Cinta tidak punya saklar on/off.

Yang kalau ditekan pada posisi on, maka dia ada, dan bisa benar-benar hilang ketika ditekan ke arah off.

Jadi?

Untuk benar-benar membuat perubahan, kamu harus melatih perasaanmu sendiri dengan sadar dan teratur.

Karena efek dari setiap cara-cara tadi bisa pudar dalam waktu singkat.

Mengingat, memikirkan, atau bahkan menuliskan hal-hal buruk dari mantan itu sampai kamu merasa baikan itu bisa berhasil suatu saat, tetapi kadang juga tidak.

Jadi? Jangan patah hati… lol…

Jangan-jangan kamu masih seperti Sara Bareilles ini….

Disclaimer:

Posting ini adalah terjemahan bebas dari tulisan Andrew Gregory berjudul The Best Way To Get Over a Breakup, According to Science, yang dimuat di majalah Time, 29 Mei 2018.

Posting Komentar untuk "Inilah Cara Mengatasi Patah Hati Karena Diputusin Pasangan – Menurut Sains"